Polda Riau Percepat Penanganan Kasus SPPD Fiktif DPRD, Fokus pada Pengembalian Dana

Dirkrimsus Polda Riau, AKBP Ade Kuncoro Ridwan.(ist)
Dirkrimsus Polda Riau, AKBP Ade Kuncoro Ridwan.(ist)

PEKANBARU – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau semakin mengintensifkan penyelidikan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif (SPPD fiktif) di lingkungan DPRD Riau untuk tahun anggaran 2020-2021.

Direktur Ditreskrimsus Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan, menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini.

Pada Jumat (17/1/2025) pagi, penyidik mendatangi Kantor DPRD Riau dan mengumpulkan ASN, tenaga ahli, serta tenaga honorer yang diduga menerima aliran dana dari kasus tersebut.

“Kami meminta seluruh pihak yang merasa menerima dana agar segera mengembalikannya kepada penyidik. Uang tersebut nantinya akan kami sita sebagai barang bukti,” ujar Kombes Pol Ade Kuncoro.

Sejauh ini, penyidik telah menyita barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp7,1 miliar, di samping sejumlah aset bergerak dan tidak bergerak yang telah diamankan sebelumnya.

“Kami berharap para pihak terkait memiliki kesadaran untuk mengembalikan dana tersebut secara sukarela. Ini adalah langkah nyata untuk membantu proses pemulihan aset negara,” tambahnya.

Kombes Ade menegaskan bahwa penyelidikan kasus ini tidak akan terhenti, meskipun ada perubahan kepemimpinan di Ditreskrimsus.

Saat ini, penyidik menunggu hasil audit kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau, yang ditargetkan selesai akhir bulan ini.

“Setelah hasil audit diterima, kami akan melanjutkan ke tahap pemeriksaan ahli, gelar perkara, dan penetapan tersangka. Kami tidak akan menunda proses ini,” jelasnya.

Dalam penyelidikan ini, penyidik menargetkan pemeriksaan terhadap 401 orang yang diduga terlibat.

Hingga kini, 353 orang telah diperiksa, dengan 297 di antaranya hadir secara langsung dalam pertemuan terakhir, sementara sisanya mengikuti secara virtual.

“Kasus ini melibatkan tiga kategori penerima aliran dana, yaitu tenaga ahli, ASN, dan tenaga honorer. Beberapa di antaranya bahkan diduga menerima hingga Rp300 juta,” ungkap Ade.