Pilkada Dharmasraya, Kampanye Hitam Mulai Bergentayangan

Ilustrasi. (ist)

Dharmasraya – Memasuki tahapan kampanye Pilkada 2020, para buzzer mulai memainkan peran berupa postingan di media sosial untuk menjatuhkan salah satu paslon. Postingan tersebut diduga bernuansa Sara dan ujaran kebencian.

Pantauan Topsatu.com di sejumlah akun media sosial seakan saling berlomba menghujat salah satu pasangan calon, tanpa bisa dibendung oleh pihak berwenang yang diamanahkan oleh undang-undang sebagai institusi pengendali serta penegakan keadilan pemilu.

Salah satu postingan yang dikemas dalam bentuk stiker, yang cukup menohok adalah postingan netizen atas nama, Amar Salahuddin. Ia menulis sholat aja jarang, sok bikin masjid, terlalu.

Menyikapi kondisi tersebut, Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan ( PPP) Dharmasraya, Harry Permana, mengaku sangat menyesalkan kegiatan di media sosial tersebut. Ia mendesak pihak terkait segera menindak tegas pemilik akun tersebut.

Menurutnya, tindakan tidak terpuji yang justru terjadi tepat di hari pertama pelaksanaan kampanye, menunjukkan adanya upaya merusak kondusifitas pelaksanaan demokrasi di daerah itu.

“Upaya menghasut dengan menebarkan konten-konten provokasi dengan maksud untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat pemilih, adalah perbuatan zalim dan tidak bisa dibenarkan serta harus ditindak sesuai regulasi perundang-undangan yang berlaku, ” tegasnya.

Lanjut Harry Permana, pola seperti itu juga akan merugikan pasangan calon yang didukung oknum penebar konten-konten tersebut, karena akan melugaskan rendahnya pemahaman tentang tata tertib berdemokrasi bahkan bisa dianggap sebagai upaya tindakan alih pandang demi menutupi tidak berkualitasnya visi misi yang akan diusung.

“Kasihan kita karena calon yang mereka usung akan mendapatkan cap sebagai oknum perusak tatanan sosial bermasyarakat dan tidak punya program unggulan, bayangkan berapa kerugian yang harus diderita baik secara moril maupun materil, ” katanya.

Sementara itu, mengutip keterangan dari Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo di laman bawaslu.go.id, menegaskan praktik politik uang dan politisasi isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) masih menjadi dua hal yang menghambat kualitas demokrasi.

Menurutnya, ada beberapa modus politisasi SARA alias modus terkait dengan black campaign. Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara ke isu SARA. Kedua, ceramah-ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan, kemudian spanduk calon kepala daerah yang mengandung pesan verbal berkonten SARA dan terakhir, penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial.

“Ini pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu bagaimana bisa menindaklanjuti temuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun yang tidak resmi di media sosial,” pungkasnya. (roni)