Solok  

Pekan Depan, MK Bakal Lanjutkan Sidang Pilkada Kabupaten Solok

PADANG – Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan sidang perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Solok Pada Jumat (26/2) pekan depan.

Menjadi satu-satunya perkara Pilkada di Sumbar yang berlanjut ke tahap pembuktian, sidang itu mengagendakan pemeriksaan saksi dan ahli secara daring (online) serta penyerahan dan pengesahan alat-alat bukti tambahan.

Dari jadwal yang tertera di situs resmi MK, mkri.id, persidangan lanjutan itu digelar pukul 08.00 WIB.

Pada persidangan sebelumnya, pemohon Nofi Candra dan Yulfradi dalam perkara nomor 77/PHP.BUP-XIX/2021 mendalilkan pada penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Solok, terdapat selisih suara sebanyak 814 dengan Paslon nomor 2, Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu (pihak terkait).

Pemohon menegaskan terdapat pengurangan suara yang dialami dengan cara merusak surat suara sah oleh KPPS sehingga menjadi surat suara tidak sah. Selain itu, banyak pemilih yang mencoblos dua kali yang melibatkan petugas KPPS serta persoalan terkait tidak profesionalnya KPU.

Kemudian, pemohon mendalilkan adanya perbedaan jumlah pengguna hak pilih dalam DPT antara pemilih dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatra Barat tahun 2020 untuk penghitungan hasil suara di Kabupaten Solok dengan dengan pemilihan bupati dan wakil bupati. Pemohon juga mendalilkan, politik uang yang masif terjadi dan laskar merah putih dijadikan simbol kebal hukum dari paslon 2 serta keberpihakan 74 walinagari.

Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar mahkamah membatalkan keberlakuan keputusan KPU Kabupaten Solok dan meminta pemungutan suara ulang di sejumlah TPS.

Pada sidang kedua, KPU Kabupaten Solok sebagai termohon membantah dalil tersebut, dan menilai tuduhan-tuduhan itu tidak benar, dan hanya berdasarkan asumsi pemohon semata. Termohon juga menyanggah dalil tentang perbedaan jumlah pengguna hak pilih dalam DPT antara pemilih dalam pemilihan gubernur untuk penghitungan hasil suara di Kabupaten Solok dengan dengan pemilihan bupati dan wakil bupati.

Hal ini karena berdasarkan bukti, jumlah hak pilih dalam DPT dalam pemilihan gubernur sebanyak 173.577 suara. Sedangkan jumlah hak pilih dalam DPT kabupaten Solok 173.566 suara. Selisih hak pilih disebabkan karena adanya pemilih DPT khusus (DPT Lapas) yang memiliki KTP di luar Kabupaten Solok sebanyak 13 orang. Sedangkan dua narapidana bebas dan tidak menggunakan hak pilihnya.

Termohon juga menyanggah dalil mengenai politik uang yang yang masif terjadi dan laskar merah putih dijadikan simbol kebal hukum dari paslon 2 serta keberpihakan 74 walinagari. “Tidak ada rekomendasi Bawaslu yang diterima oleh KPU Kabupaten Solok terkait pelanggaran yang dilakukan pasangan calon nomor urut 2,” kata Rudi Darmono, kuasa hukum KPU Kabupaten Solok.

Termohon menyampaikan kepada Mahkamah agar tidak menerima atau mepertimbangkan dalil-dalil yang disampaikan oleh pemohon. Pihaknya meminta mahkamah menolak petitum pemohon untuk seluruhnya, menerima dalil jawaban termohon untuk seluruhnya dan menyatakan benar dan tetap berlaku Keputusan KPU Kabupaten Solok tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Solok Tahun 2020 yang disahkan tanggal 17 Desember 2020.

Isnaldi sebagai kuasa hukum Paslon nomor Urut 2, Epyardi Asda dan Jon Firman Pandu (pihak terkait) menilai MK tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PHP Kabupaten Solok tahun 2020. Hal ini karena dalil pemohon bukan terkait perhitungan suara, melainkan merupakan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilihan jika merujuk pada UU Pilkada.

Sementara Afri Memori mewakili Bawaslu Kabupaten Solok menyatakan tidak menerima laporan dan atau temuan yang dilakukan oleh pihak Terkait berkenaan tentang penggunaan politik uang dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Solok Tahun 2020 yang menurut pemohon dilakukan pihak terkait. Pihak Bawaslu menyatakan tidak pernah menerima laporan tentang janji akan mendapatkan bedah rumah atau melibatkan ASN terkait praktik politik uang.

Sebelumnya, enam gugatan Pilkada di Sumbar lainnya kandas. Dalam putusan selanya pada Senin-Selasa (15-16/2) lalu, Hakim MK menyatakan, tidak melanjutkan perkara tersebut ke tahap pembuktian karena dinilai tidak memenuhi persyaratan formil menyangkut tenggang waktu pengajuan gugatan dan kedudukan hukum pemohon. (108)