Ragam  

Mendadak Hujan Turun di Arafah

Arafah Saudi Arabi- Pada ujung panas yang menggigit, langit tinggi tiba- tiba gelap. Angin bertiup kencang, mengguncang seluruh tenda jemah. Inilah angin gurun yang bisa memindahkan bukit-bukit pasir. Debu pasir beterbangan. Magrib pun tiba, Minggu (19/8).
Saat shalat Magrib, angin kian kencang. Sesaat terdengar gemuruh. Lalu hujan pun turun. Tak ada hujan selama ini. Jikapun ada paling sekali setahun dan kabarnya sudah 4 tahun tak turun. Waktunya kini, tercurah bagai di Padang Panjang. Angin yang tadi memisau, berhenti. Setengah jam kemudian hujan reda.
Tatkala hujan turun, saya sedang jadi jemaah Shalat Magrib dengan imam Prof Masnal. Saat hujan turun mata saya panas. Saya menangis. Kali kedua dalam hari ini saya menangis. Pertama beberapa jam lalu saat bus masuk wilayah Arafah. Saya tak membaca doa-doa dalam teks tapi saya ucapkan spontan. Dari dalam.
Banyak sekali ayat Tuhan tentang hujan, salah satunya:
Al A’raaf, ayat 57 :
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (“hujan”); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan “hujan” di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab angin itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS. 7:57)_
Hujan itu turun berdentang-dentang di atap kemah kami. Kemah kokoh bertiang besi buatan Uni Emirat Arab warna putih itu tak ada yang tiris. Setengah jam hujan rahmat itu turun dan kembali badai menerjang. Tiga tahun lalu, kabarnya, badai serupa menumbangkan dan memporakporandakan tenda jemaah. Karena itu pemerintah Saudi mengganti dengan tenda tiang-tiang besi diberi skor. Inilah roders yang ketika badai datang dihoyaknya habis-habisan tapi tak apa-apa. Petugas kemudian merobek kecil-kecil dinding roders agar angin bisa lolos.
Di luar angin berkecamuk, menerbangkan tong-tong sampah, merundukkan pohon-pohon Soekarno. Didapat laporan ada tenda yang rubuh, namun semua jemaah selamat. Satu jam kemudian badai pun berlalu. Sehabis badai datanglah pelangi. Tidak. Tak ada pelangi malam itu, yang ada rembulan belum bulat terlihat di langit tinggi. Awan bersibak, langit jernih. Sejumlah jemaah duduk di luar. Suhu 37 derajat malam itu.
*Alhamdululllah*
Uda Bas, bos koran ini berkirim WA bertanya apakah jemaah Indonesia, saya, Om King dan kawan-kawan jemaah Padang selamat? Uda Bas cemas. Agak lambat pesan beliau terbalas. Saya dan Om King selamat yang lain juga tak kurang satu apapun.
Hampir semua jemaah mendapat pesan pertanyaan dari Ranah Minang. Semua menjawab, “Alhamdulillah selamat,”
Kade dari Kade Advertising Padang juga bertanya. Jawab saya: aman. Sejumlah kawan juga berkirim pesan yang sama.
Begitulah, tulisan ini saya buat dengan mencuri waktu sehabis khutbah wukuf dan shalat berjemaah. Di sela-sela makan siang. Sebentar lagi tatkala cuaca sudah lindok, jemaah akan keluar kemah membawa sajadah. Sendiri-sendiri. Individual dan menguliti diri sendiri. Mengadu dan berdialog dengan Tuhan. Lalu berdoa dan minta ampun di padang pasir paling ganas di dunia ini.
Setelah Magrib bergerak ke Musdalifah. Paginya lagi ke Mina untuk melontar. Di Mina tinggal dua malam di kemah.
Kawasan perkemahan untuk Asia kemarin itu ramai bukan buatan. Apalagi kawasan untuk Indonesia. Saya khawatir WC tak bagus, ternyata baik-baik saja. Jemaah ada yang sudah 3 kali mandi, dua kali ngopi dan menyatap mie gelas. Jemaah lain berdoa bersama istri, sendiri atau tidur menunggu sore sambil mengisi gelas dengan air mendidih hasil rebusan di kran yang disediakan khusus. Di awang-awang helikopter menderu-deru memantau Arafah. Yang lain mencari es untuk dimasukkan ke dalam bak kecil kipas angin besar warna hitam.
Di sini jeruk, pisang, mangga terasa nikmat sekali dan semua itu gratis. ***
Badai telah berlalu, hujan rahmat menyejukkan. Semoga siapa saja yang berhaji sekarang jadi haji mabrur. ** (kj)