Padang  

Masyarakat Harus Pintar Memilih Tayangan Televisi

PADANG – Selain di satu sisi sebagai industri, di sisi lainnya, pers sebagai idealisme juga harus digelorakan. Dengan demikian tidak saja hiburan yang bisa dinikmati masyarakat, tapi juga tuntunan yang positif.

Hal itu dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Suhardi Alius pada pembukaan acara ‘Literasi Media’ bertajuk Memilih Siaran yang Berkualitas yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Rabu (2/5) di Hotel Pangeran Beach.

“Idealisme harus digelorakan. Jangan sampai industri membuat bangsa tergadaikan,” kata Suhardi.

Menurut Suhardi, dalam sisi pemberitaan media saat ini masih kurang proposional. Misalnya saja berita teroris yang menurutnya di sisi lain terorisme ada sisi humanis yang perlu diangkat.

Selain keseimbangan dalam pemberitaan, masyarakat selaku pembaca berita atau tayangan juga mesti pintar dalam memahami topik atau opini yang disampaikan oleh media.

“Hilangkan budaya sharing tanpa saring,” tukasnya.

Kemudian, Dekan FISIP Unand, Dr. Alfan Miko yang hadir sebagai pembicara dalam kegiatan itu mengatakan kalau saat ini masyarakat dikepung televisi. Ada sejumlah efek negatif yang disebarkan oleh televisi, salah satunya adalah membentuk kesadaran palsu. Dia mengatakan, ada lima racun TV yang harus diwaspadai masyarakat, yakni 5S, sadis, sex, SARA, sedih dan sihir.

“Kita harus pintar dalam menikmati tayangan. Harus pandai memfilter agar opini tidak salah,” katanya.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis pada kesempatan itu mengatakan saat ini kondisi yang terjadi adalah tayangan masih dikuasai oleh rating. Jika rating bagus, program akan jalan terus.

“Dunia penyiaran Indonesia, dari hulu ke hilir masih bermasalah. Rating masih menjadi pengendali program yang disiarkan. Kita pun terus berupaya agar siaran yang disajikan memang bermutu,” katanya.

Menurut Yuliandre, sesuai dengan Undang-undang penyiaran, selama 2,4 jam setiap harinya televisi wajib menayangkan konten lokal. Namun pada kenyataannya konten lokal hanya ditayangkan di malam hari, atau saat jam istirahat masyarakat.

“Mungkin karena pengemasan kurang menarik, atau memang kalah rating, sehingga konten lokal dan siaran yang penuh makna posisinya masih terhimpit dengan program yang tinggi ratingnya,” kata ketua KPI ini. Banyak hal juga yang menjadikan siaran TV maupun media publik lainnya masih kurang dalam hal kualitas.

Misalnya, impor siaran luar negeri masih tinggi, acara informasi atau berita sering menjadi bias, dan format hiburan seringkali berbenturan dengan etika serta norma sosial. (wahyu)