Ragam  

Makan Ubi Rebus di Hutan Bambu

Inilah hutan bambu yang eksotik di Kyoto. Bambu jadi obyek wisata, Jepang punya kisah (foto seruni)

Laporan Khairul Jasmi dari Japang

Kyoto, kota bagai maket itu, dibungkus dingin, gigil tropis masih menyertai saya. Pada pagi yang sempurna kami bergerak ke Arashiyama, hutan bambu seluas 17 Km persegi.

Jutaan batang bambu tegak lurus. Ini bambu, jenis pering, yang lebih suka tumbuh tinggi sebatang-sebatang, menjulang, tidak berumpun seperti bambu biasa. Pering atau pariang, jika tua akan berubah warna jadi kuning.

Ke hutan itulah saya melangkah, melewati jalan yang tertata rapi dengan toko-toko yang cantik di sisi jalan. Semua menjual buah tangan dan makanan. Ada sungai besar dengan jembatan panjang di sisi kiri. Berbelok ke kanan berjalan sejauh sekitar 750 meter sampai di simpang rimba bambu.

Bukan rimba tapi taman bambu, dengan jalan sepatak berpagar bambu kering. Jalannya disemen dan di balik pagar, bambu tumbuh menjulang memberi celah-celah bagi pengunjung untuk melihat langit biru. Menjelang siang saat saya sampai di sana, jalan itu sudah penuh oleh pengunjung, banyak juga dari Indonesia.

“Awak dari Tangerang, tapi kampuang awak Padang Lua,” jawab seorang remaja putri, kepada Singgalang.

Orang-orang Jepang, entah dari kota mana, datang ke sana berpasang-pasangan. Juga dari bangsa-bangsa lain, mereka satu rombongan besar, menggunakan satu dua bus pariwisata.

Hanya hutan bambu. Hanya. Apa boleh buat, dikelola negara menjadi obyek wisata fantastik, bak negeri kayangan. Ujung-ujung bambu dari puncak tertingginya merunduk membentuk pemandangan yang hebat. Pengujung terpesona.

Maka dengan berbagai gaya orang-orang berfoto di sana, dengan riang tentunya. Ribuan bahkan jutaan orang seperti itu. Maka saya pun mengambil posisi terbaik, dipotret anak saya.

Lelah di dalam menjelang pintu keluar saya nikmati ubi rebus pakai saka. Gula aren. Nikmatnya tak terbada, meski tak dibeli tapi dikasih teman. Saya kulek ubi itu sambil jalan, sembari menjauh dari hutan bambu nan indah itu. Masalahnya adalah, ubi habis wadahnya masih di tangan, tak ada tong sampah. Kemana mau dibuang. Saya bungkus dengan asoy dan saya bawa saja.

Mematut-matut danau

Sambil sarapan pagi di lantai 37 Lake Biwa Otsu Prince Hotel, saya patut-patut negeri Jepang. Ada bukit di timur dan puncaknya berselimut salju. Hotel itu berdiri di tepian Danau Biwa.