KPAI Keluarkan 17 Larangan untuk Parpol dalam Pilkada 2020

Jasra Putra. (ist)

PADANG – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta partai politik (parpol), beserta calon peserta pada Pilkada Serentak 2020, agar tidak menyalahgunakan hal-hal yang berkaitan dengan anak.

Melalui kesepakatan yang diperoleh pada pertemuan Rabu (9/11) bersama KPPPA, KPU, dan Bawaslu, KPAI sepakat menerbitkan surat edaran bersama terkait dengan anak dalam kaitannya dengan agenda politik praktis tersebut.

“Ada 17 indikator larangan yang mesti diperhatikan. Bila itu dilakukan, maka perbuatan tersebut masuk kategori penyalahgunaan anak dalam politik,” kata Jasra Putra, komisioner KPAI yang membidangi pengawasan, monitoring, dan evaluasi (wasmonev), menjawab Singgalang dan topsatu.com dari Padang.

Berikut, ujarnya, 17 indikator penyalahgunaan anak dalam politik yang harus diketahui partai dan calon peserta pemilu: (1) Melibatkan anak untuk ikut menerima uang saat menghadiri kampanye, menerima pembagian sembako maupun sedekah, dan sejumlah indikasi money politic lainnya;

(2) Menyalahgunakan identitas anak yang sebenarnya belum berusia 17 (tujuh belas) tahun, namun diindentifikasi telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, termasuk memalsukan status anak sebagai sudah menikah dalam daftar pemilih tetap (dpt); (3) Memanfaatkan fasilitas anak untuk kepentingan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, seperti tempat bermain, sekolah, madrasah, pesantren, dan lain-lain;

(4) Memasang foto, video anak, atau alat peraga kampanye lainnya; (5) Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota; (6) Menampilkan anak sebagai bintang utama dari iklan politik dalam media apapun;

(7) Menampilkan anak di atas panggung kampanye calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dalam bentuk hiburan; (8) Menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota;

(9) Menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktik politik uang oleh tim kampanye calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota; (10) Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain;

(11) Memaksa, membujuk, atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara; (12) Membawa bayi atau anak yang belum memiliki hak pilih ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak;

(13) Melakukan tindakan kekerasan/eksploitasi atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara, seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat, dan/atau bentuk kekerasan/eksploitasi anak lainnya; (14) Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi, dan/atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya;

(15) Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota; (16) Menggunakan anak menjadi pemilih pengganti bagi orang dewasa yang tidak menggunakan hak pilihnya; dan/atau (17) Melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.

“Kita berharap, semua elemen terkait dapat memperhatikan hal itu, guna menjaga anak-anak kita tetap tersenyum dan terhindar dari penyalahgunaan kepentingan dan eforia sesaat,” tuturnya.(musriadi)