Ketua DPRD Sumbar: Pemprov Harus Tambah Lokasi Karantina dan Pertegas SOP Isolasi Mandiri

Ketua DPRD Sumbar, Supardi. (ist)

Padang – Dengan meningkatnya masyarakat yang terpapar corona di Sumatera Barat, bahkan empat daerah sudah masuk zona merah dan 14 daerah masuk zona oren, perlu adanya penambahan tempat karantina bagi masyarakat yang terpapar.

Hal tersebut disampaikan ketua DPRD Sumbar Supardi, Minggu (4/10) saat menyikapi kondisi hasil tracking setiap harinya terhadap masyarakat, baik yang masuk maupun keluar Sumbar. Ia menegaskan, dengan pesatnya penambahan jumlah positif pandemi, maka perlu antisipasi pemerintah provinsi yang berkordinasi dengan kabupaten dan kota, untuk menambah tempat penyembuhan atau karantina penderita corona.

Ia juga mengatakan, pemerintah provinsi jangan lagi berkutat dan beralasan dengan kurang adanya dana untuk penambahan fasilitas tersebut, karena untuk kepentingan masyarakat DPRD Sumbar siap untuk membackup, khususnya dalam alokasi anggaran.

Selain penambahan tempat karantina, Supardi meminta Pemprov serta kabupaten dan kota, membuat Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) isolasi mandiri, bagi masyarakat yang terpapar, agar tidak menularkan pada keluarga lainnya dalam satu rumah.

Kediaman atau rumah yang layak untuk dijadikan tempat isolasi mandiri, harus memiliki MCK sendiri dalam kamar orang yang melakukan isolasi, sehingga ia tidak meninggalkan tempat dan berbaur dengan penghuni rumah lainnya, baik anak,istri atau siapa saja yang ada dalam rumah tersebut, sehingga tidak menularkan pada penghuni yang sehat atau negatif.

“Saya mengimbau pada pemprov untuk berkordinasi dengan Pemko dan Pemkab se-Sumbar, agar menambah tempat karantina pada masyarakat yang terpapar, karena situasi menunjukkan perkembangan pesat dan perlu antisipasi, selain itu perlu adanya SOP jelas bagi yang positif jika ingin isolasi mandiri, sehingga tidak menularkan pada penghuni lainnya yang ada dalam satu rumah,” tegas Supardi.

Dia juga meminta, agar Pemprov tegas melarang seseorang untuk isolasi mandiri, jika standarisasi kediamannya tidak sesuai dengan protokol kesehatan, karena akan sulit memutus mata rantai penyebaran, jika yang terpapar masih tetap melakukan komunikasi dan interaksi sosial meskipun dengan keluarga. (*)