Oleh Muhammad Azra Insani, Rizki Hasan, Laozi Syafputra, Khairunnisa, Fadhlan Hanif Zain
Mahasiswa Unand
Dalam era digital saat ini, penggunaan media sosial semakin meningkat dan sangat mempengaruhi perilaku berbahasa remaja. Generasi Z, yang tumbuh dengan teknologi, cenderung terpapar bahasa informal atau “alay” yang digunakan dalam berbagai platform media sosial seperti “anjir, bjir, anjay, dll”. Perubahan bahasa ini mempengaruhi kesantunan dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, yang dapat berdampak pada sikap sopan santun di kehidupan sehari-hari. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terkait bagaimana penggunaan bahasa di media sosial dapat mengurangi kesadaran siswa terhadap pentingnya kesantunan berbahasa.
Bahasa remaja rentan mengalami perkembangan karena pengaruh lingkungannya. Lingkungan remaja meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, teman bermain, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan khusus kelompoknya. Dalam lingkungan yang berbeda akan menjadikan bahasa yang mereka miliki, juga berbeda. Hal ini terbukti dari penggunaan kosa kata dan bahasa yang mereka terapkan. Mereka akan cenderung menggunakan bahasa yang bisa berterima di lingkungannya.
Bahasa komunikasi remaja memiliki kekhasan yang berbeda dengan bahasa pada umumnya. Bahasa mereka terkesan lincah, singkat, dan kreatif. Kata-kata yang mereka gunakan cenderung sederhana. Remaja lebih menyukai kalimat simplek. Bahkan mereka cenderung menggunakan bentuk elip untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek. Bila dilihat dari norma kebahasaan, kalimat semacam ini menjadi tidak lengkap. Ketidaklengkapan ini menjadikan kalimat sering bersifat ambigu atau atau sulit untuk dipahami.
Perkembangan teknologi dan meningkatnya pengguna media sosial di Indonesia. Berdasarkan survei “We Are Social”, jumlah pengguna media sosial aktif di Indonesia pada Januari 2024 adalah 139 juta orang, atau sekitar 49,9% dari total populasi Indonesia. Hal ini telah mendorong perubahan signifikan dalam penggunaan bahasa, terutama di kalangan remaja. Fenomena bahasa alay menjadi populer sebagai bentuk kreativitas dan upaya eksistensi diri, ditunjukkan dengan penggunaan istilah seperti warbiyazah untuk menggantikan “luar biasa” atau ungkapan metafora seperti “kesel setengah mampus.” Meski dianggap mengikuti trend, kebiasaan ini memunculkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap penguasaan dan penggunaan bahasa baku, terutama dalam situasi formal, karena dapat mengurangi kemampuan berkomunikasi secara resmi di lingkungan yang membutuhkan bahasa formal.
Penggunaan Bahasa di Media Sosial oleh Siswa
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 27 dari 30 siswa di salah satu Kelas
X, terlihat bahwa penggunaan media sosial sangat mendominasi aktivitas mereka. Sebanyak 27 siswa menggunakan WhatsApp, 26 siswa aktif di Instagram, dan 21 siswa sering mengakses TikTok. Durasi penggunaan media sosial rata-rata berkisar antara 1 hingga 6 jam setiap harinya. Penggunaan ini dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti hiburan, belajar, dan komunikasi.
Kelompok responden yang terdiri dari 11 laki-laki dan 16 perempuan ini berusia antara 14 hingga 16 tahun. Dalam aktivitas mereka di media sosial, terdapat perilaku bahasa yang menarik untuk dikaji. Sebanyak 11 siswa (40,7%) mengakui pernah menggunakan bahasa kasar di media sosial, sementara 16 siswa (59,3%) menyatakan tidak pernah menggunakan bahasa kasar. Adapun kata- kata tidak sopan yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari meliputi “anjir,” “bjir,” “anjir,” “biadab,” dan “bajingan.”
Berdasarkan keterangan salah satu guru Bimbingan Konseling (BK) SMA Negeri 1 Padang, yaitu sebut saja Ms. X penggunaan bahasa kasar secara tidak sadar dilakukan di lingkungan sekolah seperti kata “anjir, bjir” yang mana jika dicari pengertiannya itu bermakna kasar. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan bahasa seperti itu dianggap gaul dan trend di kalangannya.
“Malahan kita yang milenial, boomer itu pasti tanpa sadar mengikuti trend-trend seperti itu,” tuturnya. Akan tetapi, di lingkungan SMA Negeri 1 Padang tidak menormalisasikan penggunaan bahasa kasar. “Ketika mendapati itu terdengar di lingkungan sekolah salah satu yang langsung dilakukan tentu menegur dengan tidak mempermalukan mereka dan memberikan edukasi.”tambahnya.