Kepala Daerah Perempuan di Negeri Bundo Kanduang?

 

Effendi

WARTAWAN TOPSATU.COM

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Luhak Nan Tuo Tanah Datar dalam surat resminya menyatakan untuk kepemimpinan negara, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota termasuk para wakilnya), adat Minangkabau sama sekali tidak ada mengatur dan tidak membuat ketentuan, aturan dan syarat untuk menjadi kepala daerah.

Dalam hal ini, LKAAM Tanah Datar melalui surat tertanggal 15 November 2019 itu, menyatakan adat Minangkabau mengikuti saja ketentuan dan hukum pemerintah dan ketentuan serta syarat yang ada pada pemerintah (KPU sebagai penyelenggara Pileg/Pilkada).

Sedangkan kepemimpinan yang diatur oleh adat Minangkabau hanyalah pemimpin adat, yaitu urang ampek jinih (penghulu, monti, malin dan dubalang) dan urang jinih nan ampek (imam, khatib, bilal dan kadhi).

Ketentuan dan aturan hukum adat untuk menjadi pemimpin adat tersebut, syarat-syaratnya sangatlah banyak, antara lain memang laki-laki dan diharuskan sesuai dengan pituah adat yaitu talatak sesuatu ditampeknyo, dimakan mungkin jo patuik, dalam barih jobalabeh dilingkuang adat jo pusako.

Surat yang ditandatangani oleh H. Hafzi Dt. Batuah (ketua) dan Hardi Siswa Dt. Marah Bangso (sekretaris) itu ditujukan kepada Shadiq Pasadigue dan ditembuskan kepada pucuk pimpinan LKAAM Sumbar, Ketua Bundo Kanduang Tanah Datar, Ketua LKAAM kecamatan dan ketua KAN se-Tanah Datar.

Memang, sebelumnya Shadiq Pasadigue mengirimkan surat kepada Ketua LKAAM Tanah Datar tertanggal 1 November 2019. Ini terkait dengan proses pemilihan Bupati Tanah Datar dan di antara bakal calon yang sudah mengikuti proses di partai politik adalah istri Shadiq, yaitu Betti Shadiq Pasadigue.

Menurut Shadiq, mengingat tanggung jawab dunia akhirat terhadap seorang istri, sebelum terlalu jauh melangkah, dia perlu meminta pendapat kepada LKAAM Tanah Datar, karena adanya polemik di tengah-tengah masyarakat, apakah seorang perempuan dibolehkan menjadi bupati (kepala daerah) menurut kaedah adat istiadat yang berlaku di Minangkabau?

Polemik tersebut, menurut Shadiq wajar terjadi karena selama ini setahu dirinya, sejak Provinsi Sumbar terbentuk, belum ada perem­puan yang menjadi kepala daerah di Sumbar. Sementara di provinsi lain, contohnya Jawa Timur, ada 39 kepala daerah (gubernur/bupa­ti/walikota), 10 di antaranya adalah perempuan, termasuk guber­nur.