Keluarga, Ruang Literasi yang Efektif

Kegiatan literasi pada anak. (rin)

Oleh: Melda Riani

Saat ancaman degradasi moral tak lagi secara nyata terang-terangan di depan mata, saat pencetan keyboard bisa lebih perih mengiris daripada goresan pena dan saat keteladanan makin susah dicari, maka keluarga seharusnya menjadi benteng utama dari semua itu. Karena, pada keluarga nilai-nilai kebaikan pertama kali diberikan kepada anak. Pada keluarga seharusnya anak bisa menjadikannya sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk pulang dan mengadukan setiap persoalan.

Keluarga juga seharusnya menjadi ruang literasi yang efektif. Mulai dari pengenalan huruf dan angka pertama kali hingga bagaimana seorang anak bisa belajar memahami, menganalisa dan menangani masalah yang terjadi sehari-hari. Karena, literasi pada hakikatnya bukan hanya sekadar membaca, tapi memahami dan mengkritisi apa yang dibaca serta bisa mengaplikasikan dengan baik dalam menghadapi persoalan sehari-hari.

Namun, masih banyak orang tua tak memiliki kesadaran tentang pentingnya literasi. Selain itu, tak banyak orang tua yang memiliki waktu memadai untuk menemani dan mendampingi anak-anak mereka. Jangankan untuk menjadikan keluarga sebagai wadah literasi, untuk sekadar bercengkerama saja tak punya cukup waktu. Ibu tak bekerja pun tak menjamin memiliki waktu berkualitas bagi anak. Waktu orang tua saat ini banyak tersita karena gadget dan media sosial, atau kegiatan lain yang tak bersentuhan dengan anak.

Trainer berakreditasi internasional yang juga volunteer di Save The Children dan Living Values Education, Fitri Laurent kepada topsatu.com beberapa waktu lalu mengatakan, orang tua dalam sehari harus menyediakan minimal waktu 30 menit yang bernilai atau berkualitas (quality time) bagi anak. Waktu bernilai tersebut dalam artian orang tua harus fokus pada anak tanpa diganggu dengan aktifitas atau pekerjaan lain.

Menurut Fitria, penelitian yang dilakukan organisasinya pada 64 negara membuktikan bahwa waktu kebersamaan antara orang tua dan anak, dalam artian fokus tanpa diintervensi pekerjaan lain, sangat minim. Waktu bersama yang berkualitas antara ibu dengan anak tak lebih dari 11 menit sehari. Sementara, waktu dengan ayah malah hanya 7 menit.

Minimnya waktu yang berkualitas tersebut membuat anak-anak mengalami krisis nilai dan karakter. Padahal, anak-anak butuh keteladanan dan kebiasaan. Ia menyarankan minimal waktu 30 menit bernilai dapat digunakan untuk mentransfer nilai-nilai lewat cerita, kegiatan latihan dan bertutur dengan anak, tanpa disambi atau fokus. Terserah waktunya kapan, yang penting adalah bernilai atau berkualitas.

Krisis Literasi?

Bangsa Indonesia disebut-sebut sedang mengalami krisis literasi. Hal itu berdasarkan survei UNESCO pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya sekitar 0,001 persen. Artinya, dalam setiap 1.000 orang, hanya satu orang yang memiliki minat membaca buku secara serius.

Selain itu, PISA (Programme for International Student Assessment) mencatat bahwa Indonesia menduduki peringkat 69 dari 76 negara berdasarkan skor membaca siswa pada tahun 2015. Data itu membuat Indonesia disebut tengah mengelami krisis literasi yang berpengaruh pada tingkat kualitas pendidikan di negeri ini.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak tahun 2016 menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dimulai dari Gerakan Literasi Keluarga, dilanjutkan Gerakan Literasi Sekolah dan Gerakan Literasi Masyarakat. Keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi tiga poros utama dalam gerakan literasi. Namun, yang paling dasar tentu saja gerakan dimulai dari keluarga.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof.Muhadjir Effendy menekankan pentingnya keberliterasian agar masyarakat Indonesia memiliki kecakapan hidup sehingga mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa lain. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Adapun enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.