Gelinjang ‘Emmahaven’ di Denyut Nadi Perekonomian Nasional

Wartawan Topsatu.com

Rusmel

Setelah pabrik semen di Indarung, ‘pusaka’ Belanda yang menjadi ikon ranah Minang (Sumatera Barat) adalah pelabuhan Teluk Bayur. Sebuah dermaga nomor dua tertua setelah Tanjung Priok yang berada di teluk pantai Barat Sumatera, memiliki peran penting dalam geliat perekonomian Nasional.

Sama dengan pabrik semen, kini dan masa yang akan datang, eksistensi pelabuhan Teluk Bayur adalah kebanggaan, bahkan harga diri publik Sumatera Barat. Begitu urgens dan populernya pelabuhan yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) ini, pada masanya, pernah menjadi sumber inspirasi bagi pekerja seni hingga tercipta lagu Telur Bayur yang dinyanyikan Erni Johan. Teluk Bayur bahkan sempat menjadi latar cerita film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau masuk dalam alur cerita film klasik Sengsara Membawa Nikmat.

Dari sudut operasional usaha, antara perusahaan semen Indarung dan pelabuhan Teluk Bayur memiliki korelasi tinggi dengan mengedepankan prinsip multisimbiosisme. Meski soal nasib relatif berbeda. Bahkan ketika zaman bergerak maju berbarengan dengan berkembangnya pelabuhan di Selat Malaka, aktivitas perdagangan di Teluk Bayur mengikuti trend penurunan transportasi.

Teluk Bayur bahkan sempat kehilangan pamor ditengah tingginya mobilitas angkutan darat dan udara. Pelabuhan yang berdiri sejak tahun 1858 itu, justru sempat disangsikan tenggelam diantara riuh populeritas dan kemajuan tekhnologi.

Teluk Bayur yang awalnya identik dengan pelabuhan angkutan orang, sempat pula menjadi sandaran bagi moda transportasi massal nasional dan internasional. Emmahaven, nama lain pelabuhan kapal terbesar yang berada di depan Bukit Air Manis dan Gunung Padang itu, tidak terbantahkan ketika dicatat sebagai satu dari lima pelabuhan besar tersibuk di Indonesia sejak era perang dunia kedua.” Kami ingin kembalikan kejayaan pelabuhan dengan semangat Teluk Bayur bangkit,” demikian tekad General Manager (GM) IPC Teluk Bayur, Armen Amir, pekan lalu.

Suara GM Pelindo II itu begitu jelas menggambarkan sebuah komitmen dan optimisme untuk merubah ‘greget” pelabuhan kelas satu dengan modal sertifikat ISO 9002 yang diperoleh tahun 2013. Bahkan setelah beberapa kali mengalami peremajaan infrastruktur, dengan aroma inovasi tinggi, manajemen pelabuhan Teluk Bayur juga memiliki modal sosial berupa penghargaan dari Kementrian Perhubungan dalam soal layanan prima transportasi publik untuk peti kemas dan curah cair. Dengan modal itu, Pelindo II Cabang Teluk Bayur ingin mambangkik batang tarandam sebagai implementasi filosofi “Teluk Bayur bangkit”.

Tanda tanda kebangkitan Teluk Bayur semakin mengkristal dengan membangun Terminal Peti Kemas (TPK). Terminal ini diharapkan bisa mendongkrak ekonomi masyarakat menyusul makin mudahnya lalu lintas barang dari dan ke Sumatera Barat serta daerah sekitar. Karena alasan itu, sangat wajar kalau sepanjang periode 2011–2016, PT Pelindo II telah berani menanamkan investasinya sekitar Rp 1,76 triliun.

Pengembangan terminal peti kemas ini menjadi denyut transformasi bagi tubuh Pelindo II/IPC Cabang Teluk Bayur. Terminal ini akan berpengaruh kepada waktu sandar kapal yang sebelumnya tanpa kepastian jadwal . Dampak lain terjadi pada peningkatan arus barang perdagangan, serta arus keluar masuk kapal dan perkembangan ekspor impor.

Bersama pengoperasian terminal peti kemas, aneka fasilitas modern juga dilengkapi, terutama untuk melayani pelayaran industri seperti pupuk, semen, batu bara dan minyak Sawit. .” Investasi terbesar berada di pengembangan Terminal Peti Kemas (TPK) dengan total Rp 250 miliar,” sebut Armen Amir.

Sepanjang tahun 2018 ini, Pelindo II Teluk Bayur kembali menanamkan investasi mencapai Rp1 triliun. Di antaranya untuk pembangunan gudang A dengan nilai investasi sebesar Rp 39,6 miliar. Pembangunan workshop dengan nilai investasi Rp 6,1 miliar, berikut sejumlah kebutuhan pelabuhan modern, termasuk pembangunan pool truk dengan nilai investasi Rp 2,4 miliar.