Oleh: Melda Riani
Tanah Datar, daerah tertua dalam kisah sejarah Minangkabau di Sumatera Barat. Tertuang dalam Tambo adat Minang dimana diceritakan kisah nenek moyang Minangkabau pertama kali di Puncak Gunung Marapi yang kemudian turun ke daerah Pariangan yang kini dikenal sebagai desa terindah di dunia versi Majalah Travel Budget Amerika Serikat.
Sebagai daerah tua, meski ternyata usianya belum pasti, tak banyak yang bisa dikembangkan sebagaimana daerah baru. Apalagi tak banyak potensi tambang, kecuali batu gamping di sedikit kawasan, serta potensi air sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Namun, keindahan alamnya tak main-main. Salah satunya yang menjadi ikon wisata Sumatera Barat, yakni Air Terjun Lembah Anai.
Meski demikian, sektor wisata selama ini belum bisa mendongkrak pendapatan daerah Tanah Datar. Mata pencaharian masyarakat pun tak banyak yang menggantungkan pada wisata, melainkan dominan di sektor pertanian. Dengan pendapatan sebesar Rp1,2 triliun dan belanja Rp1,3 triliun pada tahun 2023, daerah ini masih tergantung pada Dana Alokasi Khusus (DAK).
Padahal, sebagai daerah tua, Tanah Datar punya banyak sekali potensi wisata sejarah, selain potensi panorama, air panas dan kulinernya. Salah satunya Puncak Pato yang berlokasi di Nagari (setingkat desa atau kelurahan, red) Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Puncak Pato yang dalam sejarahnya berkaitan dengan masa Perang Paderi dalam rentang waktu 1803 – 1837.
Puncak Pato dengan Bukit Marapalamnya menjadi salah satu pertahanan masyarakat Minang yang saat itu diadu domba antara kaum ulama dan adat oleh Belanda. Sejarah tentang itu salah satunya tertulis di buku ‘Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang’ karya Rusli Amran yang banyak menjadi referensi dalam sejarah Minang. Bukti-bukti sejarah pun bisa dilihat dari parit-parit pertahanan serta sebuah kuburan tentara Belanda yang masih ada di Kawasan Puncak Pato.
Kisah sejarah dan budaya di Puncak Pato juga berkaitan dengan peristiwa Sumpah Sati Bukik Marapalam yang disebut terjadi pada tahun 1403 M. Peristiwa itu adalah momen diproklamirkannya ‘Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’ antara kaum adat, ulama dan cendekiawan yang kemudian menjadi filosofi masyarakat Minang.
Sayangnya, selama ratusan tahun setelah dua peristiwa penting itu, Puncak Pato hanya menjadi bukti sejarah yang terabaikan. Puncak Pato seperti hanya menjadi bukti diam sejarah yang tak bisa dibanggakan apalagi dijual sebagai destinasi wisata andalan di nusantara maupun mancanegara.
Baru beberapa tahun belakangan, pemerintah daerah setempat mulai ‘memoles wajah’ Puncak Pato, walaupun itu masih sekadar menjual keindahan panorama yang sebenarnya bisa dinikmati wisatawan dimana saja. Keindahan panorama juga bisa dinikmati di Kelok Tamam, sekitar setengah kilometer menjelang Puncak Pato. Kelok Tamam yang dulu rawan longsor, kini dinding tebingnya diperkokoh dengan rekayasan tebing oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Tiga tahun terakhir, Puncak Pato seperti dikembalikan ke nilai sebenarnya. Setelah pada tahun 2021 yang masih dalam suasana covid-19 diadakan napak tilas sejarah dan festival adat, pada tahun 2023 diadakan Festival Sumpah Sati Bukik Marapalam di Puncak Pato. Festival Sumpah Sati Bukik Marapalam mengingatkan pentingnya sejarah yang terukir di sana kepada masyarakat Sumatera Barat sendiri, terutama generasi muda yang tak banyak peduli tentang sejarah.
Kegiatan yang merupakan program unggulan (progul) Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar Eka Putra dan Richi Aprian ‘Satu Nagari Satu Event’ mampu mengangkat nilai Puncak Pato ke tingkat nasional bahkan internasional. Membangkitkan kebanggaan masyarakat setempat dengan warisan sejarah dan warisan budaya yang terdapat di daerah mereka sendiri.
Yang membanggakan, Festival Sumpah Sati Bukik Marapalam benar-benar melibatkan potensi masyarakat nagari. Pesta nagari selama tiga hari tiga malam dan disebut sebagai event nagari paling meriah di Tanah Datar. Tak hanya menghadirkan stand kuliner dan penampilan pawai budaya saja, tapi juga menampilkan drama tentang sejarah Bukik Marapalam, sandiwara anak nagari, dan kegiatan budaya lainnya. Pemeran dan mereka yang tampil adalah guru, bundo kanduang (panggilan penghormatan bagi perempuan dewasa di Minang), ulama dan anak-anak nagari lainnya.