FAKHRIZAL MEWAKILI TIPIKAL MINANG; Ilmu Iya, Mencari Iya dan Agamo Pasti nan Utamo

Fakhrizal (ist)

JENDERALkita ini anak desa. Mengaji ke surau. Pemain bola dan lama juga di rantau. Cukupkan. Untuk bisa jadi jenderal tak serta merta, tapi merangkak dari bawah. Kalau ada anak-anak kita mau masuk angkatan, jenderal siap kasih tips-tips. Dialah Jenderal Fakhrizal.

Jenderal yang hamble ini seperti kita-kita juga. Kucikaknya pas. Dia dari Agam, gudangnya orang-orang pintar, gudangnya tata kelola ekonomi. Dia anak sawah, anak surau dan anak ibunda. Pada ibu, pria ini santunnya luar biasa. Pada orang kampung takzim.

Menurut dia, rumah adalah akar tunggang pendidikan, surau tiang utama pendidikan agama Islam anak-anak Minang. Masyarakat adalah hamparan luas ilmu pengetahuan. Kita bina keluarga, hasilnya akan dirasakan oleh satu kaum. Kaum yang baik akan membuat nagari baik, nagari-nagari akan membuat Minangkabau baik. Sekolah adalah ladang ilmu, savana nan sesayup mata memandang. Jika anak masuk sekolah, kita takkan gamang kalau agamanya sudah kuat.

Surau, bukan konsep yang ditulis-tulis lalu dipidatokan, tapi alami. Ini kisah masa lalu kita bersama saudara dan kawan-kawan sepermainan. Kini mungkin namanya TPA. Apapun itu, guru ngajinya kan inyiak-inyiak, urang siak, ustad-ustad urang awak juga. Kajinya sama, walau sudah merentang jauh ke masa ini.

Selain mengaji, juga bisa membaca doa, salawat pada Nabi serta ilmu-ilmu agama lainnya. Fakhrizal, sekali lagi seperti kita-kita ini, ilmu agamanya rata-rata air saja. Kurang tidak, banyak pun tidak. Itulah sebabnya, urusan agama diserahkan pada ulama. Ia ingin Sumbar religius, tapi bagaimana caranya? Ulama yang tahu. “Saya akan belajar pada para ulama dan minta pada beliau untuk membangun Sumbar yang religus, basamo mangko menjadi,”kata dia.

Kunci akhlak, kata Fakhrizal ada di ujung selendang ibunda. Maksudnya, ibulah yang membimbing anak-anaknya. Itu sebabnya, Fakhrizal dan Genius Umar, ingin kaum perempuan, remaja puteri Minangkabau, tahu akan fikh perempuan dan mengerti agama. Jangan ngamuk-ngamuk saja, perempuan tak tutup aurat, lalu anak-anak gadis kita itu disalah-salahkan. “Saya berprinsip, tak kenal maka tak dipraktikkan ilmu agama itu,” tuturnya.

Karenanya, sekolah-sekolah seperti MTI Canduang, Jago, Pasia, Tanyuah, Thawalib Padang Panjang, Parabek,Padang Japang, Diniyyah Puteri Padang Panjang, perlu dibawa seperahu, sebiduk, berdayung kita bersama. “Saya haqul yakin, bisa, tapi kalau sekadar ngecek-ngecek saja, takkan bisa,” kata dia.

Selain itu di tiap nagari ada TPA MDA, surau atau tampek pengaji, kita mestilah memberikan perhatian pada guru ngaji.”Guru ngaji itu perlu dihormati dan dihargai,:” kata dia pula. Ulama-ulama tradisional,ulama sarungan di nagari, dalam ilmunya, tenang jiwanya, tak pernah benar-benar dapat perhatian. Fakhrizal dan Genius mau bersama mereka.

Sekarang kata Fakhrizal, berhenti memandang remaja puteri kita serba salah, dia anak kemenakan kita. Menjaga mereka jangan seperti dubalang,marah-marah saja, tapi dengan lembut. Kelembutan Minangkabau itu ada pada mereka. Tak peduli mau sekolah agama atau umum, itu pilihan mereka, tapi dasar kuat beragama sudah ada sejak dari rumah tangga. “Sekarang kita tinggal menjaganya, serta memperuatnya.”

Jenderal dari anak desa

Tak ada anak desa tak pandai main bola. Sepakbelakang? Gampanglah itu. Cuma kemudian oleh kita-kita ini, tak dilatih. Oleh Fakhrizal diasah. Jika tak jadi polisi entahlah, jangan disebut lagi, sudah jadi pemain bola dia, PSP Padang.

Lalu ia jadi polisi. Kini jenderal. Kerek juga kita. Bini rancak pula, tak akan dibawa kemana senangnya hati. Punya beberapa usaha yang dirintis sejak muda untuk bekal hari tua.