PEKANBARU – Guru besar Universitas Riau (Unri), Prof Dr Ashaluddin Jalil menekankan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Riau.
Hal ini disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bersama pemangku kepentingan terkait kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) di Hotel Pangeran.
Menurutnya, masyarakat adat seperti Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Laut, Suku Bonai, dan Suku Akit memiliki kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun dalam menjaga ekosistem.
Mereka menjalani kehidupan sederhana yang bergantung sepenuhnya pada sumber daya alam tanpa mengandalkan teknologi modern.
“Mereka tidak membuka lahan untuk perkebunan komersial, hanya untuk subsistensi. Sayangnya, keberadaan mereka sering diabaikan oleh aktivitas perusahaan,” ujar Prof Ashaluddin di Pekanbaru.
Ia juga menyoroti konflik yang kerap terjadi akibat aktivitas perusahaan seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membatasi akses masyarakat adat terhadap lahan.
Salah satu kasus yang disinggung adalah penangkapan seorang warga Suku Sakai yang mengelola tanah adat karena dianggap berada dalam kawasan HGU.
Prof Ashaluddin mengusulkan mediasi antara masyarakat dan perusahaan yang dapat difasilitasi oleh perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, atau pemerintah.
“Semua pihak perlu duduk bersama untuk mendengarkan keluhan masyarakat dan mencari solusi yang adil,” tegasnya.
Ia juga mengkritik minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses pemberian izin HGU. Menurutnya, pemerintah dan perusahaan perlu menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan lingkungan.
“Krisis lingkungan, seperti banjir di lima kabupaten, menjadi bukti bahwa kita butuh perubahan. Pemulihan harus melibatkan semua pihak,” pungkasnya.
Ditempat yang sama, Plt. Kepala Bappeda Riau, Purnama Irwansyah mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Riau akan terus berupaya meningkatkan tata kelola hutan tanaman industri (HTI) dengan mendorong sertifikasi lingkungan melalui Forest Stewardship Council (FSC).