Beraksara Agar Lebih Berdaya

Kelas literasi yang diadakan Forum Pegiat Literasi Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ist)

Oleh Melda Riani

Perjuangan berat membebaskan masyarakat Indonesia dari buta aksara telah dimulai semenjak kemerdekaan. Perjuangan membebaskan 90 persen lebih masyarakat yang buta aksara saat itu adalah perjuangan dalam memerdekakan masyarakat dalam arti sebenarnya; menjadi pribadi yang cerdas dan tidak mudah dibodohi.

Setelah hampir 74 tahun berlalu, ternyata masyarakat Indonesia belum benar-benar terbebas sepenuhnya dari buta aksara. Bahkan, meski pemerintah Indonesia pernah menargetkan bebas buta huruf tahun 2015, nyatanya hingga kini penuntasan buta aksara masih terus dilakukan.

Hingga tahun 2018, masih ada sekitar 2,07 persen masyarakat usia 15 sampai 59 tahun yang buta aksara. Bahkan, 11 provinsi memiliki angka buta aksara di atas itu. Walaupun dari persentase terlihat kecil, tapi dari sisi angka cukup tinggi, mencapai 3,47 juta orang. Dari jumlah itu, 2.258.990 orang adalah perempuan buta aksara dan separoh dari itu sebanyak 1.157.703 adalah laki-laki. Hal itu menjadi ironi di tengah zaman yang serba digital dan persaingan global yang makin tinggi.

Yang mengkhawatirkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, persentase penduduk buta huruf pada usia produktif atau kelompok umur 15+ cukup tinggi, mencapai 4,34 persen atau sekitar 147 jiwa lebih. Buta aksara pada masyarakat usia produktif rawan menimbulkan masalah-masalah lain. Apalagi, mereka adalah generasi bangsa yang seharusnya memiliki sumber daya manusia lebih baik.

Begitupun buta aksara pada kelompok umur 45+ dimana persentasenya mencapai 10,6 persen, tetap harus menjadi perhatian. Apalagi, masyarakat di atas 45 tahun juga rawan menjadi buta huruf kembali jika tak pernah memanfaatkan kemampuan membacanya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka akan menemui banyak kesulitan dan tak mendapat akses ke banyak hal karena kebutaaksaraannya itu. Saat Pemilu 2019 kemarin contohnya, pemilih yang buta aksara mengalami kesulitan karena tak boleh ditemani mencoblos. Sementara, pada kartu memilih, ada yang tidak menggunakan gambar, melainkan nama saja.

Ketidakmampuan dalam beraksara juga menutup akses ke banyak hal, seperti akses informasi, peluang ekonomi, sosial budaya dan banyak hal lainnya. Meski buta aksara tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, bahkan Negara Amerika Serikat saja masih memiliki satu persen masyarakat yang buta aksara, namun buta aksara harus jadi ‘PR’ bersama untuk dituntaskan. Melek aksara akan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pendapatan per kapita negara serta berdampak positif pada peningkatan kesehatan, usia harapan hidup dan lainnya.

Tantangan Berat

Penuntasan buta huruf dicanangkan secara resmi oleh pemerintah pada 16 Agustus 1978. Pemerintah saat itu membentuk kelompok belajar atau ‘Kejar’ yang merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi masyarakat yang buta huruf berusia 10 sampai 45 tahun. Program kejar pun membuahkan hasil dengan semakin menurunnya penduduk yang buta huruf. Pada sensus tahun 1979, dari total penduduk Indonesia sebanyak 80 juta jiwa, 39,1 persen penduduknya masih buta huruf. Persentasenya menurun tajam menjadi 28,8 persen pada sensus tahun 1980 dan terus menyusut menjadi 15,9 persen pada sensus tahun 1990. Begitupun pada tahun-tahun selanjutnya, angka buta aksara terus turun.

Usai Deklarasi Dakkar di Senegal tahun 2000 yang menekankan komitmen atas sejumlah hal, Indonesia berhasil mencapai target penurunan buta aksara 10 tahun kemudian. Dari 15 juta penduduk buta aksara di tahun 2004, turun menjadi 7,5 juta di tahun 2010 dan turun lagi menjadi 6,7 juta di tahun 2011. UNESCO pun membuat pengakuan kepada Indonesia atas keberhasilan pembebasan buta aksara tersebut.

Sejumlah program penuntasan buta aksara terus dikembangkan pemerintah. Mulai dari pembangunan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga dan terakhir membuat Kampung Literasi di sejumlah daerah di Indonesia.

Namun, ke depan, penuntasan buta aksara masih akan menjadi pekerjaan cukup berat bila tak dikeroyok bersama. Karena, yang dikhawatirkan adalah stagnansi atau bahkan peningkatan buta aksara di masa mendatang. Hal itu bisa saja terjadi pada mereka yang sebelumnya telah dibina menjadi melek aksara namun tidak menggunakan ilmunya. Mereka rawan kembali menjadi buta aksara.