Benang dan Pena yang Menantang Jalan Hidup

Silvia Piobang bersama sang ibu tercinta Suryati. dok silvia

Yunisma

Wartawati Topsatu.com

Mentari baru saja muncul di ufuk timur, namun langit Kota Padang masih disungkup kabut asap yang terjadi beberapa pekan belakang di 2019. Suryati, 61 tahun mendorong motor roda tiga yang telah dimodifikasi milik anak semata wayangnya, Silvia Piobang.

Setelah motor keluar dari pagar halaman rumah, perempuan paruh baya itu pun mendorong Silvia yang duduk di kursi roda. Kemudian dia mengangkat tubuh Silvia dari kursi ke sepeda motor. Setelah posisi Silvia pas dan aman, Suryati pun mengangkat dan menyangkutkan kursi roda di belakang motor. Pemandangan itu selalu terlihat, tatkala ibu dan anak itu keluar rumah.

Sepeda roda tiga itu baru beberapa bulan ini menjadi teman bagi Silvia dan ibunya. Sepeda motor itu dirancang khusus untuk Silvia penyandang disabilitas yang kini namanya tak asing bagi para perajut di Sumatera Barat. Hasil karya Silvia sudah sampai ke sejumlah negara. Seperti Filandia, Australia, dan New Zealand.

Silvia harus menjalani takdir tanpa bisa menggunakan dua kaki, pasca kecelakaan pada 2001 lalu. Peristiwa itu mengakibatnya dia lumpuh total, karena tulang cidera tulang punggung belakang. Sejak saat itu Silvia harus menggunakan kursi roda kemana pergi. Amak, begitu panggilan sayang untuk ibunya selalu setia mememani kemana pergi. Mereka silih berganti, mengendarai sepeda motor tiga roda tersebut.

Pasca mengalami ujian paling berat dalam hidup, hari-harinya sepi tak bertepi. Empat tahun lamanya terbaring ditempat tidur. Dalam waktu itu, berkali-kali dia sempat berpikir untuk bunuh diri. Sebab, dua kaki yang biasa digunakan melangkah tak lagi berfungsi.

“Saya begitu terpuruk ketika itu. Berkali-kali mencoba ingin bunuh diri. Sebab saya tidak menerima takdir dari Allah. Saya sering bertanya, kenapa saya harus mendapat cobaan buruk itu. Namun amak selalu menyemangati. Beliau terus dan terus bilang ke saya, nak, kamu harus kuat. Yakinlah cobaan ini ada hikmahnya. Kamu jangan pernah menyerah. Kita pasti kuat. Selagi kita meminta kepada Allah,” kata Silvia mengulang pesan Amaknya.

Bertahun-tahun larut dalam keputusasaan, karena tak bisa berbuat apa-apa untuk diri sendiri. Rasa tidak berguna dan menyusahkan amaknya terus saja bergelayut dalam benak. Lagi-lagi amaknya dengan penuh kesabaran dan keiklasan, menuntun Silvia ke jalan yang benar. Berbagai upaya dilakukan sang amak, mulai dengan memutarkan ceramah-ceramah agama, ayat-ayat Alquran dan lainnya.

Dalam berjalannya waktu, selama menjalani pengobatan Silvia terus kontrol ke dokter. Hingga suatu hari dia melihat seorang perawat di salah satu rumah sakit di Padang sedang belajar merajut. Spontan saja perempuan lulusan DIII sebuah perguruan tinggi di Padang itu tersihir. “Tiba-tiba saya ingin pula merajut. Sebab saya lihat cara perawat itu merajut begitu mudah,” katanya mengulang kenangan.

Sepulang dari kontrol, perempuan kelahiran 18 Januari 1980 ini meminta amaknya untuk membeli benang dan jarum rajut. Dia mencoba dan terus mencoba. Sebab tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Hingga muncul keinginan Silvia untuk mengikuti pelatihan merajut. Sejak saat itu, hari-harinya mulai terang. Rasa diri tak berguna mulai memudar. Tak cukup lama bagi Silvia belajar merajut hingga menghasilkan sebuah karya bernilai pada 2015. Dalam ketidakpercaayaan berkarya sebagai penyandang disabilitas, Silvia mendaftar sebagai pelaku usaha kecil menengah di kantor lurah tempat dia berdomisili.

Rasa tidak percaya dirinya itu perlahan hilang, karena banyak support dari sesama pelaku UKM. Support itu terus saja menerangi hari Silvia membuat rajutan.