Bedanya Etnik Minang

kebudayaan.kemendikbud.go.id

Bedanya Etnik Minang
Oleh Irwan Prayitno

Pada 22 April 2019 saya membuka acara pelatihan untuk meningkatkan kemampuan lembaga/ormas perempuan dalam rangka meningkatkan keikutsertaan perempuan di bidang pembangunan dan pemberdayaan gender.

Dari acara tersebut didapati informasi bahwa indeks pembangunan gender (IPG) Sumbar berada di urutan dua teratas se-Indonesia. Namun indeks pemberdayaan perempuannya (IDG) ada di urutan ke-28 se-Indonesia. Dua data ini menunjukkan kondisi yang bertolak belakang. Biasanya, jika IPG naik, maka IDG juga naik. Dan jaraknya pun tidak terlalu jauh. Atau posisi antara IPG dengan IDG tidak terlalu jauh. Mengapa perbedaan yang menyolok tersebut antara IPG dengan IDG terjadi di Sumbar? Jawabannya adalah faktor budaya. Inilah bedanya etnik Minang.

IPG menggambarkan peran perempuan di tengah masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, budaya, agama, dan ekonomi. Hal ini juga bisa dilihat dari perempuan di Minangkabau yang berposisi sebagai bundo kanduang, yang sejalan dengan sistem matrilineal. Di mana peran ibu, dominan dalam keluarga. Termasuk juga turut aktif dalam membangun ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, agama di tengah keluarga dan masyarakat. Atas dasar inilah, perempuan di Minangkabau mendapat penilaian positif. Sehingga peran perempuan di Sumbar dalam IPG berada di urutan kedua nasional.

Sementara dalam IDG, indikator partisipasi perempuan dilihat dari peran aktifnya dalam bidang politik atau kekuasaan. Misalnya, kiprah perempuan di lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagai contoh hasil Pemilu 2014, di DPRD Provinsi persentase anggota dewan perempuan adalah sembilan persen. Di DPR RI, dari 14 anggota dewan dapil Sumbar hanya satu perempuan, atau jika dibuat persentase sebesar tujuh persen.

Demikian juga untuk jabatan bupati, wali kota, dan gubernur, di Sumbar. Belum ada satu orang pun perempuan yang menjadi kepala daerah. Berbeda dengan kondisi di pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Dan sebab perempuan Minangkabau tidak ada yang menjadi kepala daerah adalah faktor budaya, bahwa posisi perempuan sebagai bundo kanduang, bukan sebagai pemimpin di eksekutif maupun legislatif. Maka, partisipasi perempuan di Minangkabau tidak begitu besar dalam kekuasaan dan politik.

Ini terjadi tidak hanya di lembaga eksekutif dalam hal kepala daerah, bahkan pejabat eselon dua di provinsi atau kota/kabupaten di Sumbar pun jarang dipegang oleh perempuan, meskipun sudah ada yang berpartisipasi di sini. Kesulitan untuk mencari pejabat eselon dua dari perempuan karena mereka sendiri yang enggan untuk berada di posisi tersebut.

Pengalaman saya, yang mencoba memberikan peluang kepada perempuan yang memiliki potensi bagus ternyata mendapat penolakan. Alasannya adalah tidak menginginkan jabatan puncak. Ada juga yang sudah menjabat eselon dua dan akan diperpanjang, dia menolak dengan alasan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga. Hal ini menjelaskan bahwa faktor budaya yang ada di Minangkabau menyebabkan perempuan terlihat enggan berpartisipasi dalam kekuasaan.

Selain itu, faktor budaya juga menjelaskan mengapa angka pengangguran di Sumbar tinggi, sementara kemiskinan rendah. Padahal seharusnya, jika kemiskinan rendah maka pengangguran juga tidak tinggi. Dalam acara Musrenbangda RKPD tingkat provinsi 9 April 2019, hal ini juga sempat ditanyakan oleh perwakilan Bappenas dan Kemendagri yang hadir di acara tersebut. Selama ini angka pengangguran Sumbar (5,55% per Agustus 2018) cenderung berada sedikit di atas angka nasional (5,34% per Agustus 2018) , dan angka kemiskinan di Sumbar (6,55% per September 2018) cenderung lebih rendah dari angka nasional (9,82% per September 2018). Sementara itu gini ratio di Sumbar menunjukkan kondisi yang masih bagus (0,305 per September 2018), sehingga tidak terjadi kesenjangan yang lebar di masyarakat. Gini ratio Sumbar ada di tingkat rendah, orang kaya dan orang miskin tidak terlihat perbedaan mencolok. Tidak ada yang sangat kaya, dan tidak ada yang sangat miskin.

Jika berbicara mengenai pengangguran dan kemiskinan yang dikaitkan dengan budaya, bisa dilihat dari besarnya kucuran anggaran infrastruktur senilai puluhan triliun dari APBN dan APBD provinsi, kabupaten/kota di Sumbar. Untuk pembangunan infrastruktur ini banyak diisi oleh pekerja dari luar Sumbar. Bukan karena tidak ada pekerja dari Sumbar, tetapi tidak mau menjadi pekerja kasar.

Demikian juga, tidak ada yang mau menjadi buruh pabrik dengan upah minimum regional (UMR) dengan waktu terikat. Jika pun ada “buruh”, itu adalah buruh tani, buruh tekstil, buruh perkebunan, buruh peternakan, pelayan dan tukang masak di restoran, yang di situ berlaku sistem bagi hasil. Orang Minang lebih memilih mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang waktunya bebas walaupun masuk kategori menganggur dari segi jam kerja, tetapi bisa mendapatkan pendapatan lebih dari nilai UMR dalam sebulan. Maka tidak heran jika angka pengangguran sedikit tinggi dari Nasional tetapi kemiskinan jauh rendah dari Nasional.

Kemudian, bedanya etnik Minang adalah tidak berminat kepada money politic (politik uang). Selama saya mengikuti pemilu legislatif dan pilkada, saya amati bahwa orang Minang tidak menyukai politik uang. Orang Minang lebih memilih pilihannya sendiri ketimbang menerima politik uang. Jika pun ada yang menerima politik uang, belum tentu mengikuti ajakan yang memberi. Orang Minang memiliki harga diri dan gengsi, seperti ungkapan; “kok kayo awak indak mamintak, kok pandai awak indak batanyo, kok bagak awak indak malawan, kok rancak awak indak ka nio”. Pengaruh tokoh atau lembaga juga tidak signifikan untuk bisa mempengaruhi pilihan masyarakat.