Bawaslu Ingatkan, Pejabat Negara Wajib Memiliki Izin Kampanye

Bawaslu. (ist)

PULAU PUNJUNG – Bawaslu Dharmasraya ingatkan penjabat negara, Anggota DPRD, DPR- RI, DPD RI, gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota, bupati, wakil bupati atau pejabat nagara lainnya yang ditentukan undang-uUndang, yang ikut mengkampanyekan pasangan calon wajib mengajukan izin kampanye.

“Hal tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU ) nomor 11 tahun 2020, pasal 63 ayat 1 dan 2,” ungkap Ketua Bawaslu Dharmasrata, Syamsurizal, kepada Topsatu.com, Kamis (1/10).

Katanya, regulasi tersebut merupakan pemenuhan amanat undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 70 ayat 2, yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan kampanye yang melibatkan pejabat negara. Kategori pejabat negara yang boleh terlibat dalam mengkampanyekan pasangan calon juga diatur jelas dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jenis kampanye yang mewajibkan seorang pejabat negara memiliki izin, meliputi seluruh jenis kegiatan kampanye, termasuk berinteraksi di media sosial yang memiliki materi ajakan, sosialisasi dan sebagainya.

“Izin tersebut harus disampaikan minimal tiga hari sebelum kampanye dilaksanakan. Tidak ada pengecualian terhadap kegiatan kampanye yang dilaksanakan diluar hari kerja,” terangnya.

Menurutnya, khusus untuk berkampanye di media sosial, dapat dimintakan izin dari lembaga bersangkutan dengan memakai kurun waktu masa kampanye berlangsung, agar tidak menyalahi aturan tentang kampanye jika ingin turut aktif dalam jenis kampanye di media sosial.

Disinggung sehubungan dengan upaya pengawasan yang dilakukan pihak Bawaslu terhadap aturan tersebut. Syamsurizal mengungkapkan, saat ini terdapat satu temuan dugaan oknum pejabat negara berkampanye tanpa izin.

“Sesuai prosedur penanganan dugaan pelanggaran oleh Bawaslu, Kami sudah melayangkan surat undangan untuk melakukan klarifikasi namun yang bersangkutan masih berhalangan untuk hadir memberikan keterangan,” terangnya.

Komisioner Bawaslu Koordiv Hukum Penindakan, Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa, Alde Rado menambahkan, apabila terbukti melanggar, yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bisa saja dijatuhkan sanksi lain jika pelanggaran tersebut dianggap melanggar aturan lain seperti kode etik selaku pejabat negara.

Sanksi berat juga akan menunggu jika seorang oknum pejabat negara memanfaatkan fasilitas atau barang atau aset dan sejenisnya yang merupakan milik negara, jika terbukti maka bisa dijatuhkan sanksi pidana.

“Hal itu sebagaimana diatur pada Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 pasal 188 dengan sanksi pidana penjara selama 1 bulan dan paling lama 6 bulan, atau denda paling sedikit Rp 600 ribu dan paling banyak Rp 6 juta,” pungkasnya. (roni )